Selamat sore blogger :)
Pada sore hari yang cerah
ini saya akan membahas mengenai salah satu mata kuliah yang sedang saya tempuh
pada smester 6, mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir. Berikut ini adalah
sedikit gambaran dari wilayah pesisir di Indonesia. Gambar ini merupakan
pemandangan dari Pantai di daerah Ancol, Jakarta. Cukup indah, bukan?
Bahasan yang akan saya
ulas sama seperti judul yang tertera, yaitu membahas tentan perubahan UU
No. 27 Tahun 2007 menjadi UU No. 1 Tahun 2014.
Apakah alasan sebenarnya
dilakukan perubahan UU ini?
Seiring berkembangnya
zaman, wilayah pesisir pun ikut terus dikembangkan oleh pemerintah guna sebagai
sarana transportasi, infrastruktur, ekonomi, rekreasi dan lain sebagainya.
Karena banyaknya potensi dari wilayah pesisir ini, pemerintah pun akhirnya
membuat UU No. 27 tahun 2007 guna mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil.
Seiring berjalannya
waktu, ternyata UU yang telah dikeluarkan pemerintah ini ternyata belum mampu
untuk memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas
pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga perlu dilakukannya
penambahan dan perubahan pada beberapa pasal agar sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Berikut ini akan saya
jelaskan mengenai analisis tentang perubahan UU No. 27 Tahun 2007 menjadi
UU No. 1 Tahun 2014. Perubahan yang terjadi pada UU ini diantaranya :
1. Dilakukannya
penyempurnaan EYD dan perbaikan pada struktur kalimatnya. Penyempurnaan EYD ini
dilakukan agar pasal-pasal yang dijelaskan dapat lebih mudah dipahami oleh
masyarakat.
PASAL
YANG DIUBAH
|
UU
NO 27 TH 2007
|
UU
NO 1 TH 2014
|
ANALISIS
PERUBAHAN
|
Pasal 1 angka 1
|
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,
dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor,
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut,
serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
|
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang
dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
|
Penambahan kata “pengoordinasian”
dan kata “masyarakat” diganti menjadi “rakyat” yang berarti dibutuhkan
koordinasi antar elemen dalam pengelolaan wilayah pesisir guna mencapai
tujuan yaitu kesejahteraan rakyat.
|
Pasal 1 angka 17
|
Rencana Zonasi Rinci adalah
rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam
Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan
sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin
yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
|
Rencana Zonasi Rinci adalah
rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam
Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang
diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis
dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
|
Perubahan struktur kalimat dan
tata bahasa yang lebih tepat guna mudah dipahami oleh pembaca
|
Pasal 1 angka 19
|
Konservasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
|
Konservasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
|
Kata “perlindungan” diubah menjadi
“pelindungan” yang berarti penegasan dalam makna yang awalnya bermakna tempat
berlindung dipertegas menjadi cara untuk berlindung atau perbuatan
melindungi.
|
Pasal 1 angka 23
|
Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya
lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
|
Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya
lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase.
|
Kata “orang” diubah menjadi
“setiap orang” yang berarti penegasan makna perseorangan baik yang berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum.
|
Pasal 1 angka 26
|
Bencana Pesisir adalah kejadian
karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan
sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta,
dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
|
Bencana Pesisir adalah kejadian
karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan
perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa,
harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
|
Terkait dengan pasal 1 angka 24,
kata “orang” diubah menjadi “setiap orang”.
|
Pasal 1 angka 28
|
Pencemaran Pesisir adalah masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga kualitas
pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
|
Pencemaran Pesisir adalah masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas
Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
|
Terkait dengan pasal 1 angka 24,
kata “orang” diubah menjadi “setiap orang”.
|
Pasal 1 angka 29
|
Akreditasi adalah prosedur
pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku
sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi
penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap programprogram pengelolaan yang
dilakukan oleh masyarakat secara sukarela.
|
Akreditasi adalah prosedur
pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku
sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi
penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang
dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.
|
Kata “program-program” diubah
menjadi “program” agar kalimat lebih efektif.
|
Pasal 1 angka 30
|
Pemangku Kepentingan Utama adalah
para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai
kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya
ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir.
|
Pemangku Kepentingan Utama adalah
para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai
kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya
ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.
|
Kata “pembudidayaan ikan” diubah
menjadi “pembudi daya ikan” dan kata “masyarat pesisir” diubah menjadi
“masyarakat” yang berarti penegasan makna pelaku pengelolaan wilayah pesisir.
|
Pasal 1 angka 31
|
Pemberdayaan Masyarakat adalah
upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat Pesisir
agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
|
Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya
pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan
tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan
Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil secara lestari.
|
Kata “masyarakat pesisir” diubah
menjadi “masyarakat dan nelayan tradisional”, memperluas makna pelaku
pengelolaan wilayah pesisir.
|
Pasal 1 angka 32
|
Masyarakat adalah
masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang
bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
|
Masyarakat adalah masyarakat yang
terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat
Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
|
Kata “masyarakat adat” diubah
menjadi “masyarakat hukum adat” dan penambahan kata “masyarakat tradisional”,
bawasannya masyarakat adat memiliki aturan yang dilakukan sejak dahulu dan
penambahan kata guna memperjelas pembagian jenis masyarakat yang
bermukim di wilayah pesisir.
|
Pasal 1 angka 33
|
Masyarakat Adat adalah
kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan
hukum.
|
Masyarakat Hukum Adat adalah
sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal
usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam,
memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Dalam UU No. 27 Tahun 2007
menjelaskan tentang “masyarakat adat” sedangkan dalam UU No.1 tahun 2014
menjelaskan tengan “masyarakat hukum adat”.
|
Pasal 1 angka 38
|
Orang adalah orang perseorangan
dan/atau badan hukum.
|
Setiap Orang adalah orang
perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
|
Dalam UU No. 27 Tahun 2007
menjelaskan tentang “orang” sedangkan dalam UU No.1 tahun 2014
menjelaskan tentang “setiap orang”.
|
Pasal 1 angka 44
|
Menteri adalah Menteri yang
bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
|
Dalam UU No. 27 Tahun 2007
menjelaskan tentang tugas menteri sebagai penanggung jawab, sedangkan
dalam UU No.1 tahun 2014 menjelaskan tentang tugas menteri sebagai
penyelenggara urusan pemerintahan. Jadi perubahan tersebut dapat dilihat
bahwa menteri tidak hanya bertanggung jawab namun menteri juga ikut andil
dalam menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang yang tertera.
|
Pasal 14 ayat (1)
|
Usulan penyusunan RSWP-3-K,
RZWP-3-K, RPWP3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia
usaha.
|
Usulan penyusunan RSWP-3-K,
RZWP-3-K, RPWP3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah,
Masyarakat, dan dunia usaha.
|
Penambahan kata “masyarakat” dalam
usulan penyusunan RSWP-3-k, RZWP-3-k, RPWP-3-k dan RAWP-3-k
|
Pasal 14 ayat (7)
|
Dalam hal tanggapan dan/atau saran
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen final
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud
diberlakukan secara definitif.
|
Dalam hal tanggapan dan/atau saran
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan
secara definitif.
|
Pengurangan kata “maka” agar
struktur kalimat lebih tepat.
|
Pasal 23
|
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 pasal
23 ayat (1) kata “Pulau-Pulau Kecil “ berubah menjadi “pulau-pulau kecil”
dalam UU No.1 tahun 2014.
|
||
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 pasal
23 ayat 2 “budidaya laut” berubah menjadi “budi daya laut” dalam UU No.1
tahun 2014.
|
|||
Ditambahkan kepentingan
“pertahanan dan kemamanan negara” dalam UU No.1 tahun 2014 pasal 23 ayat 2.
|
|||
Penambahan kata “kelestarian” dalam
pasal 23 ayat (3) poin b.
|
|||
Pasal 23 ayat (4)-(7) dihapuskan
pada UU No.1 tahun 2014, karena ayat-ayat tersebut membahas tentang HP-3 yang
sudah tidak digunakan lagi.
|
|||
Pasal 30
|
Dalam UU No. 27 Tahun 2007
menjelaskan tentang pelaku perubahan status zona inti adalah Pemerintah
dengan memperhatikan pertimbangan DPR, sedangkan dalam UU No.1 tahun
2014 pasal 30 mengandung 4 ayat dan menjelaskan pelaku perubahan peruntukan
dan fungsi zona inti adalah menteri serta tatacaranya.
|
||
Pasal 63 ayat (2)
|
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan
kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan,
infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
|
UU No.1 tahun 2014 dijelaskan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah saling bekerja sama di bidang
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir.
|
2. Peubahan istilah yang
dilakukan pada pasal 1 nomor 18. Istilah "Hak Pengusaha Perairan
Pesisir" diganti menjadi "Izin Lokasi".
3. Dilakukannya
penambahan pasal untuk memperjelas pasal yang telah dibuat sebelumnya.
Pasal 1 angka 18A
Izin Pengelolaan adalah izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil.
Pasal 1 angka 27A
Dampak Penting dan Cakupan
yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap
kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi
masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Pasal 22A
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) diberikan kepada:
- orang
perseorangan warga negara Indonesia;
- korporasi
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
- koperasi
yang dibentuk oleh Masyarakat.
Pasal 22B
Orang perseorangan warga Negara
Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan
koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan harus
memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional.
Pasal 22C
Ketentuan lebih lanjut mengenai
syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26A
(1) Pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman
modal asing harus mendapat izin Menteri.
(2) Penanaman
modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan
nasional.
(3) Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari
bupati/wali kota.
Pasal 75A
Setiap Orang yang
memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang
tidak memiliki Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 78A
Kawasan konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan
Menteri.
Pasal 78B
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan
Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.
Demikianlah sedikit
penjelasan mengenai perubahan yang terdapat pada UU tentang pengelolaan wilayah
pesisir. Semoga dengan dilakukannya perubahan ini, dapat meningkatkan
perlindungan dan dasar hukum yang jelas mengenai pengelolaan wilayah pesisir di
Indonesia.
Sumber :
- UU No. 27 tahun 2007
- UU No. 1 tahun 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar