Minggu, 24 April 2016

Analisis Kasus Reklamasi Teluk Jakarta

Selamat malam para pembaca blog Catatan Perjalanan :)

Pada kesempatan kali ini, mari kita bahas sedikit mengenai isu yang sedang hangat saat ini, yaitu Reklamasi Teluk Jakarta. Apa sih sebenarnya kasus Reklamasi Teluk Jakarta itu? Apakah penyebabnya? Bagaimana kelanjutan kasusnya?
Mungkin beberapa diantara kita, masih belum mengetahui tentang kasus ini, atau sudah mengikuti namun belum mengetahui bagaimana kelanjutannya. Yuk, mari kita bahas sedikit disini..

Apa itu reklamasi?

Reklamasi adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai. Tanah yang direklamasi disebut tanah reklamasi. Reklamasi daratan umumnya dilakukan dengan tujuan perbaikan dan pemulihan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Cara yang dilakukan dalam reklamasi diantaranya adalah dengan pengeringan lahan dan penimbunan dengan pasir. Reklamasi dapat berakibat baik pada suatu wilayah, namun juga dapat membawa dampak buruk untuk daerah disekitarnya, tergantung pada bagaimana pengelolaan yang dilakukan untuk daerah reklamasi tersebut.
Berikut ini adalah beberapa hasil dari reklamasi pantai di dunia yang terkenal:

Foto udara pulau buatan di Uni Emirat Arab
Potret dari udara, Danau Marina, Singapura

Bagaimanakah kisah dari kasus Reklamasi Jakarta?

Selama sepuluh tahun terakhir, wacana reklamasi Teluk Jakarta semakin kencang. Berbagai kebijakan pemerintah muncul, ada yang melarang, tetapi tak jarang melegalkan reklamasi. Namun belakangan ini, isu itu semakin menguat dengan tujuan untuk memperluas daratan Jakarta.Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an.

Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda. Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.

Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.

Aktivitas alat berat dalam reklamasi teluk Jakarta

Rencananya reklamasi ini akan membangun 17 pulau, dan dibagi dalam beberapa bagian. Pulau dinamai dari Pulau A hingga Pulau Q. Kawasan barat akan digunakan sebagai daerah pemukiman dan wisata, kawasan tengah untuk perdagangan jasa dan komersial, dan kawasa timur digunakan untuk distribusi barang , pelabuhan dan pergudangan. berikut ini adalah grafiknya.

Grafik pembagian wilayah untuk daerah reklamasi teluk Jakarta

Banyak terdapat pro dan kontra terhadap kasus reklamasi teluk Jakarta ini. Namun jika ditanya mengenai pendapat saya sendiri, maka saya memilih untuk tidak mendukung proyek reklamasi teluk Jakarta ini. Disebabkan oleh banyaknya dampak buruk yang akan ditimbulkan setelah selesainya proyek ini. Beberapa diantaranya adalah :

  1. Pembangunan reklamasi pantai ini, saya kira berlebihan. Jika memang ingin melakukan perluasan wilayah, lebih baik dengan membangun dan mengelola daerah daratan yang belum dimanfaatkan secara maksimal, dibandingkan dengan melakukan reklamasi pantai yang nantinya hanya akan membawa dampak buruk bagi wilayah sekitar, misalnya banjir rob.
  2. Reklamasi pantai ini akan membawa dampak buruk bagi ekosistem disekitar pantai.
  3. Kebutuhan terhadap pasir laut untuk menimbuh daerah reklamasi, akan membawa dampak buruk bagi ekosistem daerah yang dikeruk pasirnya.
  4. Proyek reklamasi ini akan dimanfatkan oleh masyarakat ekonomi ke atas saja, misal pemilik usaha properti dan bisnis.
  5. Akan mematikan mata pencaharian warga sekitar, misalnya nelayan.
  6. Proyek reklamasi ini akan melemahkan kekuatan laut Indonesia.
Walaupun sampai saat ini masih belum ada keputusan yang jelas mengenai bagaimana keberlanjutan reklamasi teluk Jakarta ini, semoga pemerintah dapat mengambil keputusan dengan bijak dan dapat menguntungkan bagi setiap pihak, tanpa merugikan dan merusak ekosistem pantai itu sendiri. Alam ada untuk dijaga dan dimanfaatkan demi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup, bukan untuk diambil terus menerus demi menguntungkan kepentingan suatu kelompok.


" Earth provides enough to statisfy every man's needs, but not every man's greed." 
- Mahatma Gandhi

Sumber :
http://interaktif.print.kompas.com/reklamasijakarta
https://id.wikipedia.org/wiki/Reklamasi_daratan
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/04/jalan-panjang-reklamasi-di-teluk-jakarta/
http://metro.sindonews.com/read/1102554/171/ini-17-alasan-reklamasi-teluk-jakarta-harus-dihentikan-permanen-1461139422

Minggu, 17 April 2016

Analisis Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

Selamat sore blogger :)

Pada sore hari yang cerah ini saya akan membahas mengenai salah satu mata kuliah yang sedang saya tempuh pada smester 6, mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir. Berikut ini adalah sedikit gambaran dari wilayah pesisir di Indonesia. Gambar ini merupakan pemandangan dari Pantai di daerah Ancol, Jakarta. Cukup indah, bukan? 




Bahasan yang akan saya ulas sama seperti judul yang tertera, yaitu membahas tentan perubahan UU No. 27 Tahun 2007 menjadi UU No. 1 Tahun 2014.

Apakah alasan sebenarnya dilakukan perubahan UU ini?

Seiring berkembangnya zaman, wilayah pesisir pun ikut terus dikembangkan oleh pemerintah guna sebagai sarana transportasi, infrastruktur, ekonomi, rekreasi dan lain sebagainya. Karena banyaknya potensi dari wilayah pesisir ini, pemerintah pun akhirnya membuat UU No. 27 tahun 2007 guna mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Seiring berjalannya waktu, ternyata UU yang telah dikeluarkan pemerintah ini ternyata belum mampu untuk memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga perlu dilakukannya penambahan dan perubahan pada beberapa pasal agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Berikut ini akan saya jelaskan mengenai analisis tentang perubahan UU No. 27 Tahun 2007 menjadi UU No. 1 Tahun 2014. Perubahan yang terjadi pada UU ini diantaranya :

1. Dilakukannya penyempurnaan EYD dan perbaikan pada struktur kalimatnya. Penyempurnaan EYD ini dilakukan agar pasal-pasal yang dijelaskan dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat.

PASAL YANG DIUBAH
UU NO 27 TH 2007
UU NO 1 TH 2014
ANALISIS PERUBAHAN
Pasal 1 angka 1
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penambahan kata “pengoordinasian” dan kata “masyarakat” diganti menjadi “rakyat” yang berarti dibutuhkan koordinasi antar elemen dalam pengelolaan wilayah pesisir guna mencapai tujuan yaitu kesejahteraan rakyat.
Pasal 1 angka 17
 Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada  gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Perubahan struktur kalimat dan tata bahasa yang lebih tepat guna mudah dipahami oleh pembaca
Pasal 1 angka 19
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Kata “perlindungan” diubah menjadi “pelindungan” yang berarti penegasan dalam makna yang awalnya bermakna tempat berlindung dipertegas menjadi cara untuk berlindung atau perbuatan melindungi.
Pasal 1 angka 23
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka  meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,   pengeringan lahan atau drainase.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. 
Kata “orang” diubah menjadi “setiap orang” yang berarti penegasan makna perseorangan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Pasal 1 angka 26
Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Terkait dengan pasal 1 angka 24, kata “orang” diubah menjadi “setiap orang”.
Pasal 1 angka 28
Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Terkait dengan pasal 1 angka 24, kata “orang” diubah menjadi “setiap orang”.
Pasal 1 angka 29
Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap programprogram pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela.
Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.
Kata “program-program” diubah menjadi “program” agar kalimat lebih efektif.
Pasal 1 angka 30
Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir.
Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.
Kata “pembudidayaan ikan” diubah menjadi “pembudi daya ikan” dan kata “masyarat pesisir” diubah menjadi “masyarakat” yang berarti penegasan makna pelaku pengelolaan wilayah pesisir.
Pasal 1 angka 31
Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat Pesisir agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil secara lestari.
Kata “masyarakat pesisir” diubah menjadi “masyarakat dan nelayan tradisional”, memperluas makna pelaku pengelolaan wilayah pesisir.
Pasal 1 angka 32
  Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kata “masyarakat adat” diubah menjadi “masyarakat hukum adat” dan penambahan kata “masyarakat tradisional”, bawasannya masyarakat adat memiliki aturan yang dilakukan sejak dahulu dan penambahan kata guna  memperjelas pembagian jenis masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir.
Pasal 1 angka 33
 Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 menjelaskan tentang “masyarakat adat” sedangkan dalam UU No.1 tahun 2014 menjelaskan tengan “masyarakat hukum adat”.
Pasal 1 angka 38
Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 menjelaskan tentang “orang” sedangkan dalam UU No.1 tahun 2014 menjelaskan tentang “setiap orang”.
Pasal 1 angka 44
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 menjelaskan tentang tugas menteri sebagai penanggung jawab, sedangkan dalam UU No.1 tahun 2014 menjelaskan tentang tugas menteri sebagai penyelenggara urusan pemerintahan. Jadi perubahan tersebut dapat dilihat bahwa menteri tidak hanya bertanggung jawab namun menteri juga ikut andil dalam menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang yang tertera.
Pasal 14 ayat (1)
Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha.
Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha.
Penambahan kata “masyarakat” dalam usulan penyusunan RSWP-3-k, RZWP-3-k, RPWP-3-k dan RAWP-3-k
Pasal 14 ayat (7)
Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.
Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.
Pengurangan kata “maka” agar struktur kalimat lebih tepat.
Pasal 23


Dalam UU No. 27 Tahun 2007 pasal 23 ayat (1) kata “Pulau-Pulau Kecil “ berubah menjadi “pulau-pulau kecil” dalam UU No.1 tahun 2014.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 pasal 23 ayat 2 “budidaya laut” berubah menjadi “budi daya laut” dalam UU No.1 tahun 2014.
Ditambahkan kepentingan “pertahanan dan kemamanan negara” dalam UU No.1 tahun 2014 pasal 23 ayat 2.
Penambahan kata “kelestarian” dalam pasal 23 ayat (3) poin b.
Pasal 23 ayat (4)-(7) dihapuskan pada UU No.1 tahun 2014, karena ayat-ayat tersebut membahas tentang HP-3 yang sudah tidak digunakan lagi.
Pasal 30


Dalam UU No. 27 Tahun 2007 menjelaskan tentang pelaku perubahan status zona inti adalah Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan DPR, sedangkan dalam UU No.1 tahun 2014 pasal 30 mengandung 4 ayat dan menjelaskan pelaku perubahan peruntukan dan fungsi zona inti adalah menteri serta tatacaranya.
Pasal 63 ayat (2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
UU No.1 tahun 2014 dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah saling bekerja sama di bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir.

2. Peubahan istilah yang dilakukan pada pasal 1 nomor 18. Istilah "Hak Pengusaha Perairan Pesisir" diganti menjadi "Izin Lokasi".

3. Dilakukannya penambahan pasal untuk memperjelas pasal yang telah dibuat sebelumnya.


     Pasal 1 angka 18A
     Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.
     Pasal 1 angka 27A
     Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
     Pasal 22A
   Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan kepada:
    orang perseorangan warga negara Indonesia;
-      korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
-      koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.
     Pasal 22B
    Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan harus memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional.
     Pasal 22C
    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
     Pasal 26A 
     (1)   Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
     (2)   Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional.
   (3)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota.
     Pasal 75A
     Setiap Orang yang memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 
     Pasal 78A
     Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.
     Pasal 78B
    Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.



Demikianlah sedikit penjelasan mengenai perubahan yang terdapat pada UU tentang pengelolaan wilayah pesisir. Semoga dengan dilakukannya perubahan ini, dapat meningkatkan perlindungan dan dasar hukum yang jelas mengenai pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia.

Sumber :
- UU No. 27 tahun 2007
- UU No. 1 tahun 2014